Harga Merosot, Indonesia bakal Kurangi Ekspor Karet
23 Agustus 2012
Admin Website
Artikel
5711
JAKARTA. Harga karet di pasar internasional yang terus merosot, memaksa pemerintah Indonesia mengurangi ekspor karet.
Langkah ini diharapkan dapat kembali menstabilkan harga karet. Hal itu dikemukakan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta, Jumat (17/8).
Gita menjelaskan, penurunan harga karet alam dalam beberapa bulan terakhir ini terjadi karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan Jepang, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif pada triwulan ke-2 di kawasan Uni Eropa.
"Akibat lemahnya permintaan karet dari negara-negara tersebut, pasokan karet alam di pasar berjangka menjadi berlebihan dan membuat harga karet terus mengalami penurunan," ujarnya.
Harga karet alam saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Pada 14 Agustus lalu telah menyentuh USD 279,52 per kg. Harga tersebut menurun ketimbang harga tertinggi yang pernah dicapai selama 2012 yaitu US$287,93 per kg pada 12 Maret lalu.
Langkah mengurangi ekspor karet ini juga dilakukan oleh Malaysia dan Thailand.
Kedua negara ini bersama Indonesia tergabung dalam kerjasama International Tripartite Rubber Council (ITRC).
Kesepakatan pengurangan ekspor ini diambil ketiga negara, usai melakukan pertemuan di Bangkok, Thailand pada 15 Agustus lalu.
"Kita sudah sepakat dengan Malaysia dan Thailand mengenai trigger harga yaitu di US$2,8 dollar per ton. Kalau turun di bawah itu kita akan menyemangatkan ke asosiasi dan pihak swasta untuk menyikapinya, supaya stabilisasi harga bisa dilakukan."
Upaya mengendalikan harga karet dilakukan dengan dua cara. Pertama melakukan Supply Management Scheme (SMS), yaitu pengendalian produksi karet di hulu/di tingkat perkebunan untuk jangka panjang melalui peremajaan, diversifikasi kebun, peningkatan konsumsi dalam negeri, dan tidak membuka lahan perkebunan baru.
Langkah lainnya yakni dengan pengetatan atau pengurangan pasokan karet alam di pasar dunia pada saat terjadi kelebihan pasokan, sementara permintaan sedikit (Agreed Export Tonnage Scheme / AETS).
Penurunan ekspor yang akan dilakukan, kata Gita, sebanyak 10% di ketiga negara, atau sebanyak 300 ribu ton untuk ketiga negara.
"Jadi rata-rata 100ribuan ton per negara. Dengan catatan, rata-rata produksinya satu jutaan ton," imbuhnya.
Dengan menyepakati pelaksanaan AETS dan SMS secara bersama, harga karet alam diharapkan segera membaik.
Ia menambahkan, implementasi AETS dan SMS ini nantinya akan dimonitor secara penuh oleh ITRC Monitoring and Surveilance Committee.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SABTU, 18 AGUSTUS 2012
Langkah ini diharapkan dapat kembali menstabilkan harga karet. Hal itu dikemukakan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta, Jumat (17/8).
Gita menjelaskan, penurunan harga karet alam dalam beberapa bulan terakhir ini terjadi karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan Jepang, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif pada triwulan ke-2 di kawasan Uni Eropa.
"Akibat lemahnya permintaan karet dari negara-negara tersebut, pasokan karet alam di pasar berjangka menjadi berlebihan dan membuat harga karet terus mengalami penurunan," ujarnya.
Harga karet alam saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Pada 14 Agustus lalu telah menyentuh USD 279,52 per kg. Harga tersebut menurun ketimbang harga tertinggi yang pernah dicapai selama 2012 yaitu US$287,93 per kg pada 12 Maret lalu.
Langkah mengurangi ekspor karet ini juga dilakukan oleh Malaysia dan Thailand.
Kedua negara ini bersama Indonesia tergabung dalam kerjasama International Tripartite Rubber Council (ITRC).
Kesepakatan pengurangan ekspor ini diambil ketiga negara, usai melakukan pertemuan di Bangkok, Thailand pada 15 Agustus lalu.
"Kita sudah sepakat dengan Malaysia dan Thailand mengenai trigger harga yaitu di US$2,8 dollar per ton. Kalau turun di bawah itu kita akan menyemangatkan ke asosiasi dan pihak swasta untuk menyikapinya, supaya stabilisasi harga bisa dilakukan."
Upaya mengendalikan harga karet dilakukan dengan dua cara. Pertama melakukan Supply Management Scheme (SMS), yaitu pengendalian produksi karet di hulu/di tingkat perkebunan untuk jangka panjang melalui peremajaan, diversifikasi kebun, peningkatan konsumsi dalam negeri, dan tidak membuka lahan perkebunan baru.
Langkah lainnya yakni dengan pengetatan atau pengurangan pasokan karet alam di pasar dunia pada saat terjadi kelebihan pasokan, sementara permintaan sedikit (Agreed Export Tonnage Scheme / AETS).
Penurunan ekspor yang akan dilakukan, kata Gita, sebanyak 10% di ketiga negara, atau sebanyak 300 ribu ton untuk ketiga negara.
"Jadi rata-rata 100ribuan ton per negara. Dengan catatan, rata-rata produksinya satu jutaan ton," imbuhnya.
Dengan menyepakati pelaksanaan AETS dan SMS secara bersama, harga karet alam diharapkan segera membaik.
Ia menambahkan, implementasi AETS dan SMS ini nantinya akan dimonitor secara penuh oleh ITRC Monitoring and Surveilance Committee.
DIKUTIP DARI MEDIA INDONESIA, SABTU, 18 AGUSTUS 2012