18 Provinsi Tuntut Bagi Hasil CPO
21 Oktober 2014
Admin Website
Berita Kedinasan
2787
BALIKPAPAN. Terhitung
18 provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia menuntut bagi hasil penjualan
atau perolehan dana bea keluar CPO (crude palm oil/minyak mentah sawit) untuk
dibagihasilkan ke daerah penghasil.
Kedelapan belas provinsi penghasil kelapa sawit itu meliputi provinsi di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi serta Papua menghasilkan pendapatan negara Rp343,4 triliun diluar cukai rokok Rp72 triliun, bea keluar kakao Rp615,12 miliar serta bea keluar CPO Rp28,9 triliun.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Hj Etnawati Usman pada pertemuan rapat koordinasi daerah penghasil kelapa sawit yang dihadiri provinsi-provinsi penghasil di Balikpapan, Kamis (16/10) lalu.
Menurut Etnawati, tuntutan bagi hasil penjualan atau bea keluar yang dilakukan 18 provinsi penghasil kelapa sawit (CPO) sangat wajar mengingat penghasilan yang sangat besar bagi negara tetapi sangat sedikit yang turun ke daerah.
Padahal, dana bagi hasil bea keluar kelapa sawit itu sangat penting pemerintah daerah guna membiayai pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia petugas dan pekebun yang saat ini dinilai masih rendah.
Selain itu, dimanfaatkan untuk mendanai pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan dan fasilitas terkait kegiatan perkebunan yang memadai sebab tidak mungkin dibangun Dinas Pekerjaan Umum setempat karena menyangkut kegiatan usaha perkebunan.
Selain itu, untuk mendukung kegiatan perkebunan berupa subsidi pupuk dan subsidi benih serta replanting (peremajaan) tanaman perkebunan yang sudah tua khususnya tanaman kelapa sawit di Kaltim yang mencapai 17.000 hektar.
"Padahal, bila pajak ekspor dari CPO yang diperoleh dan pajak penjualan 10 persen dari penjualan tandan buah segar sawit dapat dikembalikan ke daerah. maka, dana tersebut dapat meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana perkebunan," ujar Etnawati.
Sementara itu, khusus Kaltim dengan produksi CPO mencapai 1,9 juta ton maka mampu menghasilkan Rp15,2 triliun pada 2013. "Dana yang turun melalui tiga satuan kerja di Kementan malah terus menurun dari Rp15,3 miliar menjadi Rp9,8 miliar pada tahun 2014," sebut Etnawati.
Karenanya, hasil rakor melalui Forum Komunikasi Daerah Penghasil Kelapa Sawit terdiri dari para Gubernur dan Ketua DPRD selaku dewan Pembina dan diketuai Kepala Disbun Riau dan Wakil Ketua Kepala Disbun Kaltim akan berkoordinasi dengan APPSI.
"Melalui APPSI yang beranggotakan para gubernur seluruh Indonesia kita memperjuangkan perolehan dana bea keluar CPO untu dibagihasilkan ke daerah penghasil, sekaligus mengajukan revisi terhadap UU 33 tahun 2004," ungkap Etnawati.
Dia menambahkan UU tersebut tidak menganggap perkebunan sebagai sumber daya alam seperti kehutanan, perikanan maupun pertambangan. "Padahal, hasil kelapa sawit ini sangat besar bahkan mampu menunjang pendapatan negara," kata Etnawati. (yans/humas)
SUMBER : BIDANG USAHA
Kedelapan belas provinsi penghasil kelapa sawit itu meliputi provinsi di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi serta Papua menghasilkan pendapatan negara Rp343,4 triliun diluar cukai rokok Rp72 triliun, bea keluar kakao Rp615,12 miliar serta bea keluar CPO Rp28,9 triliun.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Hj Etnawati Usman pada pertemuan rapat koordinasi daerah penghasil kelapa sawit yang dihadiri provinsi-provinsi penghasil di Balikpapan, Kamis (16/10) lalu.
Menurut Etnawati, tuntutan bagi hasil penjualan atau bea keluar yang dilakukan 18 provinsi penghasil kelapa sawit (CPO) sangat wajar mengingat penghasilan yang sangat besar bagi negara tetapi sangat sedikit yang turun ke daerah.
Padahal, dana bagi hasil bea keluar kelapa sawit itu sangat penting pemerintah daerah guna membiayai pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia petugas dan pekebun yang saat ini dinilai masih rendah.
Selain itu, dimanfaatkan untuk mendanai pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan dan fasilitas terkait kegiatan perkebunan yang memadai sebab tidak mungkin dibangun Dinas Pekerjaan Umum setempat karena menyangkut kegiatan usaha perkebunan.
Selain itu, untuk mendukung kegiatan perkebunan berupa subsidi pupuk dan subsidi benih serta replanting (peremajaan) tanaman perkebunan yang sudah tua khususnya tanaman kelapa sawit di Kaltim yang mencapai 17.000 hektar.
"Padahal, bila pajak ekspor dari CPO yang diperoleh dan pajak penjualan 10 persen dari penjualan tandan buah segar sawit dapat dikembalikan ke daerah. maka, dana tersebut dapat meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana perkebunan," ujar Etnawati.
Sementara itu, khusus Kaltim dengan produksi CPO mencapai 1,9 juta ton maka mampu menghasilkan Rp15,2 triliun pada 2013. "Dana yang turun melalui tiga satuan kerja di Kementan malah terus menurun dari Rp15,3 miliar menjadi Rp9,8 miliar pada tahun 2014," sebut Etnawati.
Karenanya, hasil rakor melalui Forum Komunikasi Daerah Penghasil Kelapa Sawit terdiri dari para Gubernur dan Ketua DPRD selaku dewan Pembina dan diketuai Kepala Disbun Riau dan Wakil Ketua Kepala Disbun Kaltim akan berkoordinasi dengan APPSI.
"Melalui APPSI yang beranggotakan para gubernur seluruh Indonesia kita memperjuangkan perolehan dana bea keluar CPO untu dibagihasilkan ke daerah penghasil, sekaligus mengajukan revisi terhadap UU 33 tahun 2004," ungkap Etnawati.
Dia menambahkan UU tersebut tidak menganggap perkebunan sebagai sumber daya alam seperti kehutanan, perikanan maupun pertambangan. "Padahal, hasil kelapa sawit ini sangat besar bahkan mampu menunjang pendapatan negara," kata Etnawati. (yans/humas)
SUMBER : BIDANG USAHA