(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Ribuan Petani Plasma Potensi Kemiskinan Baru

02 Juli 2008 Admin Website Artikel 3732
Hal ini terjadi, menurut Situtu, jika program revitalisasi dan peremajaan kelapa sawit yang dicanangkan pemerintah melalui Deptan tahun lalu mengalami kegagalan. Sementara lahan perkebunan sawit tahun tanam 1986 dan 1987 saat ini sudah tidak produktif lagi.

"Satu contoh kondisi ini bisa dialami petani plasma di beberapa desa di Kecamatan Long Ikis. Seperti desa sawit Jaya, Sekenaro Jaya, Kayungo, Krayan, dan beberapa desa lainnya. Karena itu, mengingat hal ini menyangkut kelangsungan hidup warga kita, pemerintah harus sungguh-sungguh menjadikan permasalahan ini sebagai prioritas," kata Situtu.

Karena itu, Situtu berharap, pemerintah daerah dapat menjelaskan kepada masyarakat kendala-kendala yang dihadapi sehingga program revitalisasi hingga saat ini belum berjalan seperti yang diharapkan. "Yang lebih penting adalah pemerintah provinsi dan pusat harus diberitahu kendala yang dihadapi pemerintah daerah menyangkut program ini, sehingga ada jalan keluarnya," jelasnya.

Menyangkut tanggapan tentang penetapan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit bulan Juni 2008 antara Pemkab Paser dan pihak PTPN XIII sebesar Rp 1.632,62, anggota dewan dari fraksi ukhuwah ini mengatakan perlu didukung demi kesejahteraan petani kelapa sawit. Namun, Situtu berharap agar PTPN XIII untuk dapat lebih sedikit transparan dalam menetapkan harga buah kelapa sawit dari waktu ke waktu.

"Sebab, dari informasi yang berkembang, dari dulu sampai sekarang, harga TBS di Sumatra sangat jauh berbeda dengan TBS di Paser. Kalau ini memang benar sangat disayangkan," tandas anggota DPRD pemilihan zona Kecamatan Long Ikis ini.

Kalau petani cuma mempunyai luas lahan perkebunan 2 hektare atau 1 kaveling dengan pendapatan kurang lebih Rp 2 juta per kaveling, dengan kondisi harga pupuk dan obat-obatan, tentu petani yang mempunyai lahan tersebut akan berpengaruh terhadap pendapatan.

"Harga pupuk yang saat ini naik dan obat-obatan tentu berpengaruh besar. Tentu sangat tidak mungkin petani bisa sejahtera. Padahal, mekanisme ekspor CPO melalui satu pintu lewat Departemen Perdagangan RI. Mengapa harus berbeda, kalau alasan rendemen minyak dari Paser rendah, toh usia sawit di daerah ini rata-rata 20 tahun ke atas. Berarti, kualitas CPO nya bagus. Kecuali BUMN-BUMN di daerah telah di sentralisasikan, wajar jika harga itu berbeda-beda," pungkas Situtu.

DIKUTIP DARI KALTIM POST, RABU, 2 JULI 2008

Artikel Terkait