(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Perijinan Berbelit, Perusahaan Kelapa Sawit Menjerit

30 Agustus 2014 Admin Website Berita Daerah 4933
Perijinan Berbelit, Perusahaan Kelapa Sawit Menjerit
SAMARINDA. Perijinan berbelit dan birokrasi yang rumit menyebabkan banyak perusahaan perkebunan Kelapa sawit yang telah mengantongi ijin “balik kanan” alias lebih memilih stop beroperasi atau menjualnya kepada investor lain.

Bahkan banyak ijin perkebunan kelapa sawit yang masih berlaku "dijajakan" oleh sopir taksi maupun melalui media sosial.Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Kaltim, Asmal Ridwan, Selasa pekan lalu (19/8) di Samarinda mengatakan maraknya penjualan perijinan lahan ini disebabkan banyaknya rekomendasi dan perijinan yang harus diselesaikan sebelum beroperasi.

"Kondisi kini sedemikian parah. Saya pernah lapor Pak Gubernur Awang Faroek. Merah muka beliau. Saya tidak mengada-ada. Perijinan banyak menghambat perkebunan kelapa sawit yang sebenarnya memiliki peluang dan potensi besar dalam pengentasan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi daerah," tegasnya.

Dijelaskan Azmal, untuk dapat beroperasi sebuah perusahaan kelapa sawit harus memiliki sejumlah ijin, misalnya Ijin Pembebasan Lahan, Ijin Pembukaan Lahan, Ijin Lokasi, dan lain-lain. Ini melibatkan sejumlah instansi baik pusat maupun daerah, bahkan kabupaten selaku pemilik lahan.

Dijelaskan Azmal, saat ini di Kaltim terdapat 3,6 juta hektar yang telah memperoleh ijin dan sebanyak 2,4 juta hektar yang sudah memiliki ijin Hak Guna Usaha (HGU). Dari jumlah tersebut yang telah realisasi tanam seluas 1 juta hektar.

"Dari 2,4 juta hektar tersebut, baru satu juta yang telah realisasi. Trus sisanya 1,4 juta hektar yang 50 persennya diantaranya atau 700 ribu hektar dalam progres penanaman. Masih ada sekitar 700 ribu hektar yang tidak diketahui keberadaannya. Inilah yang ditawarkan oleh sopir-sopir  taksi kepada penumpangnya," tegasnya.

Dirinya berharap, biaya tanam kelapa sawit per hektar yang mencapai Rp55 juta dapat dikurangi hingga hanya Rp45 juta per hektar jika pemerintah daerah dan kabupaten berani memangkas sejumlah rekomendasi dan perijinan yang dianggap tidak perlu.

Dilapangan, ujarnya, perusahaan kelapa sawit masih harus berhadapan dengan klaim masyarakat. Anehnya yang diklaim bukan lahan yang disepakati awal pengukuran dan perijinan.

"Bukannya kami manja, tetapi semua ujung-ujungnya duit," ujarnya singkat.

Dicontohkan Azmal, jika perusahaan mendapatkan ijin lokasi,  belum boleh bekerja karena hanya ijin lokasinya bukan ijin kerjanya. Sebelum memperoleh ijin pembukaan lahan, ijin lokasi diurus untuk berlaku semala 12 bulan. Keluarnya ijin selama tiga bulan sehingga umur ijin hanya sisa 9 bulan.

Ijin pembukaan lahan diperlukan waktu 6 bulan baru keluar. Jikalau ada kayu tegakan dan dianggap produktif dengan rata-rata 50 kubik per hektar, maka tidak boleh dibuka tetapi harus mengurus Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dulu.

"Ngurus IPK nya setahun baru terbit. IPK terbit ijin lokasi habis (masa berlakunya), ngurus lagi, uang lagi. Kita (perusahaan kelapa sawit) bukan hanya digebukin, tetapi sudah babak belur kita," keluhnya.(vb/yul)

SUMBER : VIVA BORNEO, RABU, 27 AGUSTUS 2014

Artikel Terkait