Kakao Tahun Ini Diperkirakan Sentuh Level US$2.500 Per Ton
28 Januari 2012
Admin Website
Artikel
3805
JAKARTA. Harga biji kakao sepanjang tahun ini diperkirakan sekitar
US$2.500 per ton, tidak jauh berbeda dengan tahun lalu US$2.400 yang
masih dipengaruhi oleh krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat.
Sekjen Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Dakhri Sanusi mengatakan petani masih akan mendapatkan keuntungan jika harga biji kakao US$2.500 per ton.
"Harga kakao dibentuk oleh pasar internasional, sehingga akan bergantung pada situasi Eropa dan Amerika Serikat sebagai konsumen terbesar. Krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat akan mempengaruhi penurunan demand [permintaan], sehingga harga bisa tertekan," ujarnya, seusai acara Diskusi Ekspor Dipersulit, Keran Impor Dibuka Lebar: Kebijakan Pemerintah Miskinkan Petani, Kamis 26 Januari 2012.
Dia memaparkan harga rata-rata biji kakao pada tahun lalu US$2.400 per ton. Padahal, rata-rata harga biji kakao pada 2010 lebih dari US$3.500 per ton.
Menurut dia, konsumen terbesar biji kakao adalah Eropa dan Amerika Serikat, sehingga krisis yang melanda di kawasan itu akan mempengaruhi penurunan permintaan. "Kalau konsumen sedang dilanda krisis, sedangkan kakao ini produk mewah, sehingga akan mengurangi permintaan."
Saat ini, katanya, harga kakao masih berkisar US$2.300-US$2.400 per ton turun drastis dibandingkan dengan harga pada 2010 yang mencapai lebih dari US$3.500 per ton. "Tahun ini [harga kakao] paling US$2500 per ton."
Dia menilai biji kakao merupakan komoditas yang penuh dengan spekulasi, karena seringkali harga ditentukan oleh para spekulan. "Naik atau turun [harga] tergantung mereka [spekulan], tetapi [faktor penentu harga] yang paling mendasar disebabkan oleh krisis di Eropa."
Dakhri menambahkan dengan penurunan harga menjadi US$2.300-US$2.400 per ton itu, maka bea keluar ekspor yang dikenakan sekitar 5%. Pemerintah telah menerapkan bea keluar kakao sekitar 2 tahun.
Namun, dengan berbagai strategi pemerintah saat ini,petani dan pedagang biji kakao sudah mulai menjual ke pasar domestik, dengan masuknya investor membangun pabrik pengolahan kakao.
"Mungkin tidak banyak lagi ekspor, tetapi untuk lokal, dengan dibukanya pabrik [pengolahan kakao] di Indonesia, orang [eksportir biji kakao] cenderung mengirim ke lokal untuk pabrik pengolahan kakao dalam negeri," jelasnya.
Dakhri memperkirakan produksi kakao tahun ini akan meningkat menjadi 500.000-550.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu hanya 450.000 ton.
Menurutnya, peningkatan produksi tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu lebih banyak dipengaruhi faktor cuaca. Namun, dia mengharapkan ada perbaikan di on farm perkebunan kakao.
Pemerintah mengucurkan dana untuk program gerakan nasional (Gernas) kakao dengan tujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas biji kakao.
Dia menegaskan agar petani kakao mendapatkan keuntungan, maka harga di pasar seharusnya lebih dari US$2.500 per ton. "Kalau harga biji kakai berada di bawah [US$2.500 per ton], maka petani tidak termotiovasi lagi. Kalau petani tidak mendapatkan manfaat kakoa, maka mereka akan pindah ke komoditas lainnya."
Produksi biji kakao di Tanah Air pada tahun lalu hanya 450.000 ton. Padahal, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao di dalam negeri mencapai 700.000 ton, sehingga harus diimpor 250.000 ton jika seluruh kapasitas terpasang pabrik itu dioperasikan.
Nilai ekspor kakao pada 2011 turun menjadi US$1,28 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya US$1,64 miliar.
DIKUTIP DARI BISNIS INDONESIA, KAMIS, 26 JANUARI 2012
Sekjen Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Dakhri Sanusi mengatakan petani masih akan mendapatkan keuntungan jika harga biji kakao US$2.500 per ton.
"Harga kakao dibentuk oleh pasar internasional, sehingga akan bergantung pada situasi Eropa dan Amerika Serikat sebagai konsumen terbesar. Krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat akan mempengaruhi penurunan demand [permintaan], sehingga harga bisa tertekan," ujarnya, seusai acara Diskusi Ekspor Dipersulit, Keran Impor Dibuka Lebar: Kebijakan Pemerintah Miskinkan Petani, Kamis 26 Januari 2012.
Dia memaparkan harga rata-rata biji kakao pada tahun lalu US$2.400 per ton. Padahal, rata-rata harga biji kakao pada 2010 lebih dari US$3.500 per ton.
Menurut dia, konsumen terbesar biji kakao adalah Eropa dan Amerika Serikat, sehingga krisis yang melanda di kawasan itu akan mempengaruhi penurunan permintaan. "Kalau konsumen sedang dilanda krisis, sedangkan kakao ini produk mewah, sehingga akan mengurangi permintaan."
Saat ini, katanya, harga kakao masih berkisar US$2.300-US$2.400 per ton turun drastis dibandingkan dengan harga pada 2010 yang mencapai lebih dari US$3.500 per ton. "Tahun ini [harga kakao] paling US$2500 per ton."
Dia menilai biji kakao merupakan komoditas yang penuh dengan spekulasi, karena seringkali harga ditentukan oleh para spekulan. "Naik atau turun [harga] tergantung mereka [spekulan], tetapi [faktor penentu harga] yang paling mendasar disebabkan oleh krisis di Eropa."
Dakhri menambahkan dengan penurunan harga menjadi US$2.300-US$2.400 per ton itu, maka bea keluar ekspor yang dikenakan sekitar 5%. Pemerintah telah menerapkan bea keluar kakao sekitar 2 tahun.
Namun, dengan berbagai strategi pemerintah saat ini,petani dan pedagang biji kakao sudah mulai menjual ke pasar domestik, dengan masuknya investor membangun pabrik pengolahan kakao.
"Mungkin tidak banyak lagi ekspor, tetapi untuk lokal, dengan dibukanya pabrik [pengolahan kakao] di Indonesia, orang [eksportir biji kakao] cenderung mengirim ke lokal untuk pabrik pengolahan kakao dalam negeri," jelasnya.
Dakhri memperkirakan produksi kakao tahun ini akan meningkat menjadi 500.000-550.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu hanya 450.000 ton.
Menurutnya, peningkatan produksi tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu lebih banyak dipengaruhi faktor cuaca. Namun, dia mengharapkan ada perbaikan di on farm perkebunan kakao.
Pemerintah mengucurkan dana untuk program gerakan nasional (Gernas) kakao dengan tujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas biji kakao.
Dia menegaskan agar petani kakao mendapatkan keuntungan, maka harga di pasar seharusnya lebih dari US$2.500 per ton. "Kalau harga biji kakai berada di bawah [US$2.500 per ton], maka petani tidak termotiovasi lagi. Kalau petani tidak mendapatkan manfaat kakoa, maka mereka akan pindah ke komoditas lainnya."
Produksi biji kakao di Tanah Air pada tahun lalu hanya 450.000 ton. Padahal, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao di dalam negeri mencapai 700.000 ton, sehingga harus diimpor 250.000 ton jika seluruh kapasitas terpasang pabrik itu dioperasikan.
Nilai ekspor kakao pada 2011 turun menjadi US$1,28 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya US$1,64 miliar.
DIKUTIP DARI BISNIS INDONESIA, KAMIS, 26 JANUARI 2012