(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Black Campaign Sawit di Kaltim, Mempan?

06 Agustus 2014 Admin Website Berita Daerah 5504
Black Campaign Sawit di Kaltim, Mempan?
ISTILAH black campaign atau kampanye hitam kerap muncul di permukaan, mengiringi sengitnya persaingan pemilu presiden (pilpres), beberapa waktu lalu. Tindakan sejenis, diklaim menjurus kepada para pengusaha kelapa sawit di Indonesia. Berdalih membawa dampak negatif terhadap ekosistem, banyak pihak, terutama dari kalangan pecinta lingkungan menuntut pemerintah memoratorium izin produksi buah penghasil minyak goreng tersebut.

Tudingan tersebut mulai santer terdengar pada 2006 lalu. Hingga kini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) belum menghentikan upaya meluruskan pandangan publik terkait hal ini.

Dalam pertemuan sebuah perusahaan nasional dengan awak media di Samarinda, belum lama ini, klarifikasi tersebut kembali disuarakan. Mereka menilai, pers merupakan “senjata” ampuh dalam membuka mata publik.

Dalam penuturannya, perwakilan perusahaan tersebut balik menuding bahwa tuduhan dunia terhadap dampak buruk industri sawit hanyalah bagian dari persaingan bisnis. Seperti diketahui, komoditas yang tumbuh bagus di wilayah tropis itu memang primadona bagi bisnis minyak nabati, dibanding tanaman lain, seperti kedelai atau minyak bunga matahari.

Anggapan itu bukan tanpa alasan. Dari sisi produktivitas, CPO dari sawit bisa mencapai 4 hingga 5 ton per hektare (ha). Sementara kedelai dan bunga matahari hanya mampu menghasilkan masing-masing 0,48 dan 0,38 ton per ha. Memang, sebagian negara memilih menggunakan kedelai, karena selain minyak, zat padat dari tanaman ini dapat dikonsumsi.

Namun, sawit masih memiliki keunggulan lain di pasar global. Dengan tonase yang sama, harga komoditas ini jauh lebih murah dibanding dua kompetitornya.

Secara nasional, saya sedikit setuju bahwa isu negatif sawit bagi lingkungan adalah sebuah ancaman. Sebab, di beberapa daerah, potensi industri tanaman ini tak semumpuni di Kaltim. Begitupun dengan kontribusinya terhadap perekonomian.

Bagaimana di sini? Semua yang pernah menyimak pidato sejumlah pemimpin daerah di level provinsi ini pasti kerap mendengar sejumlah program terkait pengembangan tanaman yang satu ini.

Sebut saja proyeksi besar Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy, Kutai Timur. Meski juga bakal menjadi jalur persinggahan batu bara dan industri lain, kawasan itu digadang-gadang bakal mengutamakan akomodasi pengolahan sebagian tanaman sawit terbesar di kawasan Indonesia Timur.

Sementara itu, dari hulu produksi, ada rencana mengembangkan 2 juta hektare (ha), yang dikebut agar rampung 2018 mendatang. Belum lagi proyeksi swasembada di subsektor peternakan yang menggabungkan budi daya sapi dan sawit, dengan komposisi satu ekor sapi per 1 ha kebun sawit.

Program-program tersebut menggambarkan betapa sawit sudah “terlanjur” disemai sebagai motor perekonomian pada masa mendatang. Jika upaya black campaign terhadap tanaman yang juga kerap dijuluki kurma tropis itu benar-benar efektif dan mematikan seluruh rantai industri, bukan hanya sisi hulu-hilir yang terkena imbasnya. Sektor-sektor penunjang dan bidang lain yang bergantung pada sawit pun bakal kehilangan lahan mereka.

Menilik kinerja seluruh pihak, upaya merealisasikan pengembangan kelapa sawit, sejauh ini masih dalam tren positif. Data dari Dinas Perkebunan Kaltim mencatat, hingga 2013 lalu, pemerintah telah menelurkan 215 izin lokasi kepada 338 untuk membuka lebih dari 300 Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan total luas mencapai 3,86 juta ha.

Dari luas tersebut, 3,1 juta ha di antaranya telah ditetapkan sebagai usaha perkebunan. Meski hak guna usaha (HGU) baru mencapai 1,1 juta ha atau kurang dari setengahnya dan baru 819 ha yang baru terealisasi (data 2013, sekarang pasti lebih), semua raihan itu tak bisa disepelekan.

Belum lagi dari sisi produksi, yang terus menunjukkan tren positif, setidaknya sejak lima tahun terakhir. Baru mampu menghasilkan 2,3 juta ton pada 2009, tahun lalu, produksi sawit Kaltim sudah meroket ke angka 7,6 juta ton atau hampir tiga kali lipat.

Padahal, dalam rentang lima tahun itu pula, atau tepatnya 2010, black campaign mulai gencar disuarakan pada sektor ini. Belum lagi temuan kasus perusakan populasi satwa langka pada sejumlah oknum yang memproduksi sawit.

Meski begitu, setidaknya di Kaltim, nyatanya lebih banyak pihak yang memilih tak menanggapi isu-isu negatif tentang sawit. Produksi komoditas ini jalan terus dari hulu hingga hilirnya. Bahkan, di beberapa daerah, tak sedikit perusahaan yang berhasil “menyawitkan” perekonomian masyarakat. (***/lhl/k14)

DIKUTIP DARI KALTIM POS, SELASA, 5 AGUSTUS 2014

Artikel Terkait