Andalkan Pasar Domestik, Bisa Kontrol Nilai Produk
16 Maret 2016
Admin Website
Berita Nasional
4495
JAKARTA. Harga CPO di pasar global belum menunjukkan tanda-tanda rebound.
Setelah tahun lalu bergerak di kisaran USD 600 per ton, harga olahan
pertama kelapa sawit tahun ini diprediksi bergerak di level USD 700 per
ton. Itu pun dikarenakan terhambatnya pasokan karena faktor cuaca,
bukan pulihnya permintaan secara signifikan.
Namun, emiten dari kalangan produsen bukan tanpa alternatif. CPO masih memiliki beragam pilihan turunan. Dari olein, hingga menjadi sejumlah produk, seperti minyak goreng dan biodiesel.
Yosua Zishoki, analis MNC Securities mengatakan, produk turunan pertama yang masih bisa dimaksimalkan adalah minyak goreng. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. "Emiten perkebunan bisa mengontrol harga," ujarnya, akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, harga produk lebih mudah dikendalikan lantaran emiten CPO dapat memainkan nilai tambah atau value added atas produk ini. Misalnya dengan menyesuaikan kualitas. Dengan kualitas lebih tinggi, emiten bisa mematok harga lebih tinggi pada industri riilnya.
Di sisi lain, nilai tambah tersebut tak bergantung pada tren harga jual CPO global. Naik atau turun, harga minyak goreng tetap ditentukan permintaan pasar. Apalagi, produk olahan ini termasuk bahan kebutuhan pokok.
Sehingga, dengan situasi krisis seperti apapun, permintaan diyakini tak bakal habis. Dalam hal ini, Yosua mencontohkan saham PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Sinar mas Agro Tbk (SMAR), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Selain besar, keempat emiten CPO ini juga sudah memiliki produk kenamaan masing-masing. Namun, dia menggarisbawahi SIMP. "Soalnya, selain ke pasar langsung, permintaan minyak dari SIMP juga berasal dari grup," lanjutnya.
Dari sisi fundamental, SMAR dinilai relatif menarik. Sayangnya, saham SMAR kurang likuid. Selain minyak goreng, produk turunan lain seperti biodiesel juga bisa memberikan sentimen positif bagi para pemain perkebunan.
Namun, efeknya berbeda dari produk minyak goreng. Korelasinya, berkat kebijakan pemerintah, permintaan CPO untuk bahan campuran diesel menjadi lebih tinggi. Artinya, akan ada permintaan CPO yang lebih tinggi dari dalam negeri. Seperti diketahui, Indonesia memiliki kontribusi cukup dominan terhadap kebutuhan CPO global.
Dengan kata lain, ekspor CPO dari Indonesia akan berkurang. "Ini menyebabkan suplai CPO global menurun, sehingga pada akhirnya harga CPO dunia terkerek naik," kata Yosua.
Terkait turunan biodiesel, Analis Bahana Securities Agustinus Reza Kirana mengungkapkan hal senada. Kebijakan biodiesel, kata dia, akan menyebabkan permintaan CPO dalam negeri meningkat.
Sebab, produk tersebut diperkirakan dapat menghasilkan potensi permintaan CPO, antara 4 juta hingga 6 juta ton pada tahun ini. "Angka ini setara dengan 12 sampai 18 persen dari total produksi CPO Indonesia," tambah Agustinus.
Adapun faktor lain yang masih dapat memberi efek signifikan terhadap pergerakan saham perkebunan adalah faktor alam. Seperti fenomena El Nino yang bisa menekan produksi, sehingga menjadi pengerek harga CPO di pasar dunia. (ant/man/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SELASA, 15 MARET 2016
Namun, emiten dari kalangan produsen bukan tanpa alternatif. CPO masih memiliki beragam pilihan turunan. Dari olein, hingga menjadi sejumlah produk, seperti minyak goreng dan biodiesel.
Yosua Zishoki, analis MNC Securities mengatakan, produk turunan pertama yang masih bisa dimaksimalkan adalah minyak goreng. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. "Emiten perkebunan bisa mengontrol harga," ujarnya, akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, harga produk lebih mudah dikendalikan lantaran emiten CPO dapat memainkan nilai tambah atau value added atas produk ini. Misalnya dengan menyesuaikan kualitas. Dengan kualitas lebih tinggi, emiten bisa mematok harga lebih tinggi pada industri riilnya.
Di sisi lain, nilai tambah tersebut tak bergantung pada tren harga jual CPO global. Naik atau turun, harga minyak goreng tetap ditentukan permintaan pasar. Apalagi, produk olahan ini termasuk bahan kebutuhan pokok.
Sehingga, dengan situasi krisis seperti apapun, permintaan diyakini tak bakal habis. Dalam hal ini, Yosua mencontohkan saham PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Sinar mas Agro Tbk (SMAR), PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Selain besar, keempat emiten CPO ini juga sudah memiliki produk kenamaan masing-masing. Namun, dia menggarisbawahi SIMP. "Soalnya, selain ke pasar langsung, permintaan minyak dari SIMP juga berasal dari grup," lanjutnya.
Dari sisi fundamental, SMAR dinilai relatif menarik. Sayangnya, saham SMAR kurang likuid. Selain minyak goreng, produk turunan lain seperti biodiesel juga bisa memberikan sentimen positif bagi para pemain perkebunan.
Namun, efeknya berbeda dari produk minyak goreng. Korelasinya, berkat kebijakan pemerintah, permintaan CPO untuk bahan campuran diesel menjadi lebih tinggi. Artinya, akan ada permintaan CPO yang lebih tinggi dari dalam negeri. Seperti diketahui, Indonesia memiliki kontribusi cukup dominan terhadap kebutuhan CPO global.
Dengan kata lain, ekspor CPO dari Indonesia akan berkurang. "Ini menyebabkan suplai CPO global menurun, sehingga pada akhirnya harga CPO dunia terkerek naik," kata Yosua.
Terkait turunan biodiesel, Analis Bahana Securities Agustinus Reza Kirana mengungkapkan hal senada. Kebijakan biodiesel, kata dia, akan menyebabkan permintaan CPO dalam negeri meningkat.
Sebab, produk tersebut diperkirakan dapat menghasilkan potensi permintaan CPO, antara 4 juta hingga 6 juta ton pada tahun ini. "Angka ini setara dengan 12 sampai 18 persen dari total produksi CPO Indonesia," tambah Agustinus.
Adapun faktor lain yang masih dapat memberi efek signifikan terhadap pergerakan saham perkebunan adalah faktor alam. Seperti fenomena El Nino yang bisa menekan produksi, sehingga menjadi pengerek harga CPO di pasar dunia. (ant/man/k15)
SUMBER : KALTIM POST, SELASA, 15 MARET 2016